Jumat, 23 September 2011

Pengertian, Sejarah dan Falsafah Jurnalistik

Pengertian Jurnalistik
jurnalistik secara harfiah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Adapun pengertian Jurnalistik menurut MacDougall menyebutkan bahwa juranlisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Dan dalam buku Kustadi Suhandang, juga terdapat satu pakar lagi yang mendefinisikan pengertian jurnalistik, yaitu A.W. Widjaya, menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktualdan factual dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sedang menurut Kustadi Suhandang sendiri Kustadi, jurnalistik adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.
Jadi Jurnalisme sangat penting dimanapun dan kapanpun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu Negara demokratis. Tidak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan baik social, ekonomi, politik maupun yang lain-lainya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.
Sejarah Jurnalistik
Di dalam bukunya Suhandang menerangkan sejarah Nabi Nuh yang dikisahkan bahwa pada waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan banjir besar, maka diutuslah malaikat menemui dan mengajarkan cara membuat kapal laut sampai selesai kepada Nabi Nuh. Kapal tersebut dibuat di atas bukit dan bertujuan mengevakuasi Nabi Nuh bersama sanak keluarganya dan seluruh pengikutnya yang saleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang. Setelah semua itu dilakukan, maka turunlah hujan selama berhari-hari yang disertai angin kencang dan kemudian terjadilah banjir besar. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan yang sangat besar dan luas. Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman lainnya dan hewan-hewan di dalam kapal laut, berlayar dengan selamat di atas gelombang lautan banjir yang sangat dahsyat. Setelah berbulan-bulan lamanya, Nabi Nuh beserta orang-orang beriman lainnya mulai khawatir dan gelisah, karena persediaan makanan mulai berkurang. Masing-masing penumpang pun mulai bertanya-tanya, apakah banjir besar itu memang tidak berubah atau bagaimana? Mereka pun berupaya mencari dan meminta kepastian. Atas permintaan dan desakan tersebut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari makanan, ternyata upayanya sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun, Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat. Maka kabar dan berita itu pun disampaikan Nabi Nuh kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor beritannya). Mereka menunjukan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh.
Data selanjutnya diperolah para ahli sejarah negara Romawi pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi (Imam Agung) mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumahnya). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Jadi baik hikayat Nabi Nuh menurut keterangan Flavius Josephus maupun munculnya acta diurna belum merupakan suatu penyiaran atau penerbitan sebagai harian, akan tetapi jelas terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik. Dari kejadian tersenut dapat kita ketahui adanya suatu kegiatanyang mempunyai prinsip-prinsip komunikasi massa pada umumnya dan kejuruan jurnalistik pada khususnya. Karena itu tidak heran kalau Nabi Nuh dikenal sebagai wartawan pertama di dunia. Demikian pula acta diurna sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian.
Falsafah Jurnalistik
Falsahah dalam bahasa inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Falsafah jurnallistik disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat dimana jurnalistik yang bersangkutan hidup. Falsafah jurnalistik yang dianut bangsa Amerika yang liberalistik berlainan dengan falsafah  yang dianut oleh Cina yang bersifat komunistis sebelum negara tersebut dilebur menjadi Rusia. Falsafah yang dianut Indonesia yang sisten politiknya demokratis berlainan dengan falsafah yang dianut oleh Myanmar yang militeristis.
Tahun 1980 muncul teori tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh Rivers, Schram dan Christians yang berprinsipnya sama mewakili pandangan barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang negara, kebenaran, dan perilaku moral.
Siebert berpendapat tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah “pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik dimana ia beroperasi” dan berdasarkan sistem-sistem sosial dan politik yang berlaku didunia pada waktu itu, maka dikembangkanlah empat teori tentang pers.
Ketika kebebasan politik, agama dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tutntutan akan perlunya kebebasan pers. Maka lahirlah teori baru, yaitu Libertarian Theory atau teori pers bebas, yang mencapai puncakya pada abad ke 19. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapatvmembedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Pers harus pula menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memliliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sbaliknya akan lenyap.

 Daftar Pustaka

Hikmat kusumaningrat dan Puranama Kusmaninrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, Bandung: Rosdakarya.2005
Kustadi Suhandang . Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, & Kode etik, Bandung: Nuansa 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar